Menimba Ilmu Dari Pabrik Garam
Sanim menceritakan, pada awalnya ketika masih sebagai tukang becak, ia sering mangkal di perapatan Jalan Cirebon. DI tempatnya mangkal, berdiri sebuah pabrik garam yang cukup besar.
Sanim pun tertarik untuk melamar kerja di pabrik tersebut, dengan harapan nasibnya bisa lebih baik. Beruntung, Ia diterima bekerja di situ.
"Setelah dua bulan bekerja, saya pun berpikir, daerah kita kan punya potensi garam, loh kenapa saya tidak bisa membuat garam sendiri," ungkapnya.
Akhirnya, Sanim berhenti kerja dari pabrik garam tersebut. Di situlah Ia mulai berpikir, usaha garam ternyata mampu mengeruk keuntungan yang lebih besar dari buruh pabrik apalagi tukang becak.
Baginya, garam bukan hanya sebagai bumbu penyedap makanan, melainkan juga dibutuhkan untuk keperluan industri, pertanian, dan perikanan. Ternyata, tidak sia-sia pernah bekerja di pabrik garam. "Jadi bisa dikatakan cuma nimba ilmu di pabrik tersebut," tuturnya.
Ilmu yang diperolehnya, ialah cara membuat garam krosok. Samin pun menggarap empang peninggalan orang tuanya yang berada di belakang rumah Sanim untuk mencoba membuat garam.
"Alhamdulillah, lama-lama usaha saya berkembang, sampai yang awalnya usaha di halaman belakang rumah, lalu berkembang dan kita bisa membeli tanah untuk tempat produksi yang lebih luas lagi," ujar Sanim yang mampu mengantarkan keempat anaknya meraih gelar sarjana ini.
Petani garam umumnya memanfatkan empang atau kolam di dekat pantai. Caranya, dengan mengumpulkan air laut ke dalam empang. Lalu, dengan bantuan sinar matahari, air laut yang terkumpul tersebut akan menguap dan menghasilkan kristal-kristal bersenyawa Natrium klorida (NaCl).
Kristal NaCL itu dikumpulkan oleh petani, lalu dibersihkan berulang kali dari kotoran yang melekat hingga menjadi butiran halus dan kecil namun non-yodium.
Itu dulu, kini selain memproduksi sendiri garam krosok, Ia juga membelinya dari petani garam di sekitar Cirebon. Dengan kisaran harga beli sekitar Rp 400 per kilo gram.
Harga belinya murah disebabkan garam yang diterima masih sangat kotor dan berwarna hitam. Kemudian Ia cuci kembali dengan alat seadanya.
Akhirnya, Ia memutuskan untuk membeli alat pencuci khusus garam krosok seharga Rp 20 jutaan. Lebih efisien dan garam krosok bisa dibersihkan dengan cepat. Ia pun menjual garam itu ke industri, pertanian, dan perikanan.
Namun, Sanim enggan menyebut berapa harga jual garamnya. Di beberapa iklan promosi yang beredar di internet, harga jual garam krosok bersih bisa mencapai Rp 810.
Peralatan produksi garamnya pun masih menggunakan mesin tradisional. Menurutnya, ini warisan budaya setempat. Lagi pula. Ia menganggap, mesin tradisional lebih tahan lama dan tidak tidak menimbulkan bising ketimbang mesin modern berbahan besi.
Mesin tradisional ini lah yang digunakan sanim, mengolah garam krosoknya menjadi garam beryodium dan bisa dikonsumsi oleh masyarakat.
"Kalau barang jualnya habis-habis terus, tak pernah berkurang. Karena pemasaran banyak sekali setelah garam beredar," ungkapnya. |